Laman

Rabu, 26 Agustus 2009

REGULASI PENDIDIKAN

UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru
Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2009 tentang Dosen
·                                 Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Peraturan Pemerintah N0.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
·                                 Lampiran PP 10 Tahun 2008
Peraturan Pemerintah Nomor. 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Kesepuluh Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
·                                 Lampiran PP 8 Tahun 2009
Peraturan Pemerintah Nomor. 8 Tahun 2009 tentang Perubahan Kesebelas Atas Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil.
PP Nomor. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
KETENAGAAN
Permendiknas RI Nomor. 12 th 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah
Permendiknas RI Nomor 13 th 2007 tentang Standar Kepala Sekolah
Permendiknas RI Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah
Permendiknas RI Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Konselor
Permendiknas RI Nomor 24 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/ Madrasah
Permendiknas RI Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/ Madrasah
SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN
Permendiknas RI Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan
Permendiknas RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Dosen
Permendiknas RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Perguruan Tinggi Penyelenggara Sertifikasi Dosen Tahun 2008
AKREDITASI SEKOLAH
Permendiknas No. 29  Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Sekolah-Madrasah
·                                 Lampiran-1
·                                 Isi lampiran-1
·                                 Lampiran-2
·                                 Isi lampiran-2
·                                 Lampiran-3
·                                 Isi lampiran-3
·                                 Lampiran-4
Permendiknas  No 11 Tahun  2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi  SD-MI.
·                                 Petunjuk Instrumen Akreditasi
·                                 Instrumen Akreditasi SMP-MTs
·                                 Pengantar Petunjuk Teknik Pengisian Instrumen Akreditasi SMP-MTs
·                                 Petunjuk Teknik Pengisian Instrumen Akreditasi SMP-MTs
·                                 Petunjuk Instrumen Pengumpulan Data dan Informasi Pendukung SMP-MTs
·                                 Instrumen Pengumpulan Data dan Informasi Pendukung SMP-MTs
·                                 Teknik Penskoran Pemeringkatan Akreditasi SMP dan MTs
Permendiknas No.12 Tahun 2009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMP-MTs
Permendiknas No. 52 Tahun 2008 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi SMA-MA
8 STANDAR PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Permendiknas RI Nomor. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
·                                 Lampiran Permendiknas RI No. 23 Tahun 2006
Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
·                                 Lampiran Permendiknas RI Nomor 16 Tahun 2007
Permendiknas RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
·                                 Lampiran Permendiknas RI Nomor 19 Tahun 2007
Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
·                                 Lampiran Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007
Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
·                                 Lampiran Permendiknas RI Nomor 24 Tahun 2007
Permendiknas Nomor 24 Tahuan 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah
Permendiknas RI  No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Permendiknas RI  No. 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana dan Prasana SMK/MAK
LAIN-LAIN
·                                 Lampiran I
·                                 Lampiran II
·                                 Lampiran III
·                                 Lampiran IV
·                                 Lampiran V

Rendahnya Penghargaan terhadap Profesi guru

SEKOLAH DAN NASIB GURU
DIPOSKAN OLEH TONO SOLO WEDNESDAY, JULY 29, 2009


Pendidikan, sekolahng mahal, dan tidak bisa murah… Masalahnya adalah seberapa besar beban pembiayaan pendidikan yang dibebankan kepada peserta didik. Di banyak negara, khususnya di negara yang pemerintahannya mengerti pentingnya pendidikan, pemerintah menanggung sebagian besar beban anggaran penyelenggaraan sekolah, sehingga beban yang ada di peserta didik bisa ringan… Bukan berarti pendidikan itu murah, tapi beban pembiayaan pendidikan tidak sepenuhnya berada di tangan peserta didik. 

Dalam sebuah bincang-bincang tentang pendidikan dengan oom Mul (bpk. MM. Purbohadiwijoyo - yang juga seorang pendidik), beliau mengajak saya untuk hitung-hitung besaran gaji guru saat beliau sekolah di jaman belanda dulu. Guru beliau waktu SD adalah seorang yang bergelar doktor di bidang fisika… bukan main-main. Seorang pendidik sejati, ilmuwan yang mendedikasikan dirinya ke pendidikan dasar… Mungkin ini suatu gambaran bahwa pendidikan (dasar) adalah sebetulnya pekerjaan yang perlu ditangani luar biasa serius. 

Kembali ke soal hitung-hitungan tadi, ternyata dulu gaji guru oom Mul tersebut kalau sekarang dirupiahkan adalah setara dengan tujuh juta rupiah… Angka yang fantastis… sebuah impian dalam realita penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi itulah gambaran sederhana bahwa sebetulnya pendidikan yang baik itu tidak bisa murah. Dan saya kira hal ini sekarang berlaku di mana-mana… tidak bisa kita mendapatkan sesuatu yang baik dengan harga yang murah…

Sekarang ini, saat saya mencoba berhitung secara ideal untuk pembiayaan sebuah sekolah, dimana satu kelas yang diselenggarakan menampung 25 orang anak dan ditangani oleh 2 orang guru, dimana guru dikompensasi secara cukup baik dalam perhitungan biaya hidup saat ini, ditambah penyediaan fasilitas pembelajaran yang baik (seperti halnya buku-buku perpustakaan, alat-alat bantu pembelajaran, alat peraga yang memadai, mungkin ditambah fasilitas audio visual dan penyelenggaraan outing secara berkala) maka ditambah lagi dengan pengembangan sekolah tersebut, adalah tidak mungkin kita bicara sekolah murah. 

Dalam sudut pandang guru, guru yang ideal kita harapkan mampu memfasilitasi proses pembelajaran anak semaksimal mungkin. Maka harus disadari bahwa kita menuntut banyak dari guru tersebut dalam hal kemampuan dan proses pengembangan dirinya, belum lagi masalah dedikasi dan profesionalismenya sebagai guru. Seorang guru tidak bisa tidak harus mendedikasikan waktu dan komitmennya secara penuh dalam proses mempersiapkan diri dan selama mendampingi anak belajar. Tapi realita yang sekarang umumnya terjadi adalah karena tidak memadainya penghasilan guru, pada umumnya mereka mencari tambahan penghasilan dari les-les privat atau dari 'obyekan' lainnya. Ini seharusnya tidak boleh terjadi kalau memang kita ingin performa guru di kelas sehari-hari maksimal adanya. Sederhananya, kita tidak mungkin menuntut banyak kepada para guru kalau kita sendiri tidak bisa memberikan penghargaan yang memadai kepada para guru, (termasuk untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka sendiri secara baik). Kita tidak mungkin menuntut profesionalisme, saat kita tidak bisa atau tidak mau menghargai jasa para guru secara profesional. 

Karena faktor rendahnya penghargaan terhadap profesi guru, entah sudah berapa lama profesi guru menjadi profesi yang sangat tidak bergengsi di masyarakat kita. Hampir tidak ada 'orang-orang berkualitas' yang memilih mengambil profesi guru atau pendidik. Mereka lebih suka jadi insinyur atau dokter atau ekonom. Kita harus menerima kenyataan bahwa sekarang ini mayoritas guru adalah mereka-mereka yang kurang mampu secara ekonomi untuk masuk ke pendidikan tinggi, atau tidak punya alternatif profesi lain sehingga terpaksa menjadi guru. Dengan tidak memperhitungkan buruknya kualitas pendidikan guru di Indonesia, kita punya para guru yang kebanyakan tidak punya jiwa dan dedikasi sebagai pendidik, mereka yang terpaksa menjadi guru. Ditambah rendahnya gaji guru, semua itu berakumulasi dan berakibat rendahnya mutu dunia persekolahan kita.

Yang diuraikan di atas tadi adalah persoalan klasik dunia persekolahan di Indonesia. Terus berulang di setiap generasi, dimana kita selalu saja mendengar ungkapan 'Sekolah itu Mahal'. Tapi saya kira seharusnya hal ini tidak akan banyak dipersoalkan kalau memang dunia persekolahan kita berperan dengan baik dan menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya; kalau dunia persekolahan kita berhasil menggali prestasi yang sejati dari para peserta didik. Tetapi hal ini-lah yang justru tidak terjadi. Dan ini adalah masalah pertama. Sekolah kita terlepas dari mahal ataupun murahnya, ternyata belum berhasil berfungsi dengan baik. Yang ada hanyalah filosofi pendidikan yang tidak jelas, arah dan kerangka kurikulum yang tidak menentu, program pembelajaran di sekolah yang semakin menekan anak dan lain sebagainya. Untuk melengkapi kegiatan persekolahan anak, orang tua khususnya di kota-kota besar, harus melengkapi anak dengan berbagai les-les tambahan atau yang parah bahkan membawa anak berkonsultasi ke psikolog karena ketertekanan anak di sekolah. Pendidikan secara tidak langsung akhirnya memang menjadi mahal. 


Format Persekolahan Baru

Yang parah, sebelum kita sempat mencari solusi dari isu sekolah mahal tadi, situasi permasalahan justru diperrumit dengan hadirnya format-format baru di dunia persekolahan kita. Sekolah-sekolah baru bermunculan dengan istilah dan kemasan serba mutakhir. Sekolah yang disebut-sebut dengan 'sekolah plus' atau 'sekolah nasional' ataupun lainnya, yang menawarkan pendekatan baru kegiatan persekolahan seperti full-day school ataupun sekolah bilingual dan lain sebagainya… 
Disamping itu, bermunculan pula sekolah-sekolah waralaba yang datang dari luar Indonesia. Sekolah-sekolah yang dijual dengan merek dagang impor dan segala atribut yang mengikutinya. Sekolah-sekolah ini sejak dilaunch, ditampilkan serba gemerlap dengan fasilitas serba wah, dengan program-program yang tampaknya luar biasa canggih… Kesemuanya dikemas dalam tampilan promosi dan 'advertising' yang mempesona seperti layaknya komoditi konsumsi lainnya. 

Sementara persoalan dunia persekolahan 'tradisional' belum bisa dipecahkan, tanpa sadar masyarakat khususnya di kota-kota besar digiring ke persepsi bahwa munculnya format sekolah-sekolah baru ini adalah solusi dari persoalan dunia persekolahan di Indonesia. Dan karena format-format persekolahan baru ini hampir selalu dibarengi dengan biaya pendidikan yang mahal, bahkan sangat mahal untuk ukuran kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat Indonesia, maka ungkapan 'Sekolah itu Mahal' sepertinya semakin terjustifikasi. 

Akhirnya masyarakat seperti dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Kalau mau sekolah yang baik, ya bayarlah malah, ekstra mahal. Dan kalau tidak mampu, ya terimalah sekolah apa adanya, 'sekolah yang biasa' beserta persoalan-persoalan yang mengiringinya selama ini. 

Sekolah-sekolah baru ini tidak banyak disadari pada awalnya dikembangkan oleh para pebisnis, yang hampir pasti dilatar-belakangi motivasi bisnis. Apakah betul membawa misi pendidikan atau diarahkan sebagai solusi atas permasalahan dunia persekolahan adalah tanda tanya besar. Rasanya sah juga berpikir bahwa munculnya sekolah-sekolah tadi adalah terutama atas motivasi menghasilkan untuk semata.

Bisnis Pendidikan?
Mencermati sekolah-sekolah baru tadi, muncul satu isu baru mengenai 'bisnis pendidikan'. Istilah ini semakin marak akhir-akhir ini. Tapi kalau kita mencoba kritis, hal ini adalah sesuatu yang sebetulnya menyesatkan. Pendidikan dalam arti sesungguhnya tidak mungkin diselenggarakan atas motivasi bisnis. Karena bisnis dalam pengertian kegiatan usaha selalu berorientasi pada keuntungan yang akan diperoleh pemilik modal atau pemegang saham. Jadi kalau seseorang atau sekelompok orang merintis kegiatan pendidikan untuk memperoleh keuntungan, misi dan selanjutnya kualitas pendidikan boleh sangat dipertanyakan. Karena apapun kemasannya, bisnis selalu berorientasi pada akumulasi keuntungan. Apapun yang dilakukan lembaga ini akan selalu berdasarkan pertimbangan keuntungan. Keuntungan adalah motif utamanya. Sekolah-sekolah ini berdiri di atas landasan kapitalisme.

Di sisi lain, pendidikan yang kita kenal sejak dahulu (sekolah tradisional) adalah gerakan pelayanan. Terlepas dari baik-buruknya kualitas persekolahan kita, dunia persekolahan kita sejak dulu membawa semangat pelayanan, apakah itu yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta. 

Akhirnya sekarang, dunia persekolahan tradisional mau tidak mau berhadapan dengan sekolah-sekolah baru yang berorientasi bisnis, dimana kompetisi adalah salah satu kata kunci yang dipegang erat didalamnya. Dan menjadi sangat mengkuatirkan kalau semangat pelayanan mulai sekolah-sekolah kita yang tradisional mulai bergeser ke hal-hal yang berbau bisnis terutama untuk ikut serta dalam arus kompetisi yang semakin intens ini. Sebagai penyedia jasa, memang sekolah-sekolah sangat tergantung pada cara pikir dan perilaku konsumennya. Dan saat ini kelihatannya mulai menjadi sulit bagi sekolah-sekolah tradisional untuk mendapatkan murid saat sekolah-sekolah modern ini sangat fasih memikat masyarakat untuk beralih mengkonsumsi produk-produk mereka (apalagi kita tahu masyarakat kita sifat konsumerismenya semakin lama semakin tinggi). 

Penyelenggaraan sekolah, dalam bentuk apapun harus dikelola (dimanage) dengan baik dan harus menghasilkan dana. Dana itu digunakan untuk menutup biaya operasional sekolah (termasuk menggaji dengan layak pengelola dan guru juga menyediakan fasilitas pembelajaran yang baik) dan mempertahankan kesinambungan penyelenggaraan sekolah tersebut. Dititik ini penting disadari bahwa perbedaan sekolah-sekolah tradisional dengan sekolah-sekolah modern adalah dalam hal pengelolaan dana. Sekolah yang bergerak dalam pelayanan pendidikan (seharusnya) memanfaatkan sisa dana untuk pengembangan lanjut program-program pendidikan lainnya. Dana yang terakumulasi kembali dituangkan kembali untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan lainnya. 

Bisnis pendidikan, sebaliknya akan membagikan sisa dana kepada pemilik modal atau pemegang saham. Karena bagaimanapun itu adalah tujuan akhirnya. Saat pelayanan pendidikan seharusnya tidak dibatasi dalam kerangka pengembalian investasi, pemilik modal akan berada dalam frame pengembalian investasi (ROI - Return of Investment) sebagaimana halnya bidang usaha lainnya. Bisnis pendidikan sedikit banyak akan mengorbankan banyak hal yang mengurangi keuntungan. Sedangkan pelayanan pendidikan seharusnya memfokuskan pengelolaan dana untuk kepentingan pelayanan dan tidak terpaku dalam kerangka waktu atau pola-pola pengembalian investasi… Pendidikan yang sesungguhnya tidak mungkin digabungkan dengan bisnis, karena bagaimanapun spiritnya berseberangan. 

Lalu Bagaimana?

Masih jauh jalan kita mengatasi persoalan dunia persekolahan, yang semakin kisruh dengan perkembangan akhir-akhir ini. Satu-satunya cara mengatasi rumitnya persoalan dunia persekolahan kita saat ini adalah dengan membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat. Dan atas pemahaman tersebut masyarakat akan menjadi kritis dan mampu menentukan pilihannya sendiri. Yang harus melakukannya adalah sekolah-sekolah tradisional ini sendiri. Karena merekalah yang seharusnya faham tentang esensi dunia pendidikan. 

Dan dalam situasi ini, sekolah-sekolah tradisionallah yang sedang dalam posisi terancam dan nyaris terseret arus 'bisnis pendidikan' yang menyesatkan masyarakat. Sekolah-sekolah tradisional harus mampu dalam segala keterbatasannya membuktikan semangat pelayanannya dan tidak terseret arus kompetisi bisnis yang akhirnya mengorbankan peserta didik. Tentunya untuk menyikapi situasi ini, sekolah-sekolah tradisional harus belajar lagi supaya mampu berkompetisi dengan cara tidak langsung dan tetap memperjuangkan spirit pelayanan dan esensi pendidikan yang sesungguhnya. 

“Pembelajaran Kontekstual”

“Pembelajaran Kontekstual”

A. Latar belakang
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual
B. Pemikiran tentang belajar
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
1. Proses belajar
·                                 Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
·                                 Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
·                                 Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
·                                 Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
·                                 Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
·                                 Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
·                                 Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
2. Transfer Belajar
·                                 Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
·                                 Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
·                                 Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu
3. Siswa sebagai Pembelajar
·                                 Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
·                                 Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
·                                 Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
·                                 Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya Lingkungan Belajar
·                                 Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
·                                 Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
·                                 Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
·                                 Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
C. Hakekat Pembelajaran Kontekstual
Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)
D. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
1.                                Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2.                                Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
E. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional
Kontekstual
1.                                Menyandarkan pada pemahaman makna.
2.                                Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa.
3.                                Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
4.                                Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan.
5.                                Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
6.                                Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang.
7.                                Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok).
8.                                Perilaku dibangun atas kesadaran diri.
9.                                Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
10.                             Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan diri. yang bersifat subyektif.
11.                             Siswa tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut merugikan.
12.                             Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik.
13.                             Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting.
14.                             Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik.
Tradisional
1.                                Menyandarkan pada hapalan
2.                                Pemilihan informasi lebih banyak ditentukan oleh guru.
3.                                Siswa secara pasif menerima informasi, khususnya dari guru.
4.                                Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis, tidak bersandar pada realitas kehidupan.
5.                                Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan.
6.                                Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu.
7.                                Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (kerja individual).
8.                                Perilaku dibangun atas kebiasaan.
9.                                Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
10.                             Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau nilai rapor.
11.                             Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
12.                             Perilaku baik berdasarkan motivasi entrinsik.
13.                             Pembelajaran terjadi hanya terjadi di dalam ruangan kelas.
14.                             Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
F. Penerapan Pendekatan Kontekstual Di Kelas
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
1.                                Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
2.                                kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
3.                                Ciptakan masyarakat belajar.
4.                                Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
5.                                Lakukan refleksi di akhir pertemuan
6.                                Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
G. Tujuh Komponen Pembelajaran Kontekstual
1. Konstruktivisme
·                                 Membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal.
·                                 Pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan
2. Inquiry
·                                 Proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.
·                                 Siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis
3. Questioning (Bertanya)
·                                 Kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa.
·                                 Bagi siswa yang merupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry
4. Learning Community (Masyarakat Belajar)
·                                 Sekelompok orang yang terikat dalam kegiatan belajar.
·                                 Bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri.
·                                 Tukar pengalaman.
·                                 Berbagi ide
5. Modeling (Pemodelan)
·                                 Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
·                                 Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
6. Reflection ( Refleksi)
·                                 Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
·                                 Mencatat apa yang telah dipelajari.
·                                 Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
7. Authentic Assessment (Penilaian Yang Sebenarnya)
·                                 Mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa.
·                                 Penilaian produk (kinerja).
·                                 Tugas-tugas yang relevan dan kontekstual
H. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
·                                 Kerjasama
·                                 Saling menunjang
·                                 Menyenangkan, tidak membosankan
·                                 Belajar dengan bergairah
·                                 Pembelajaran terintegrasi
·                                 Menggunakan berbagai sumber
·                                 Siswa aktif
·                                 Sharing dengan teman
·                                 Siswa kritis guru kreatif
·                                 Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
·                                 Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
I. Menyusun Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran, dan authentic assessmennya.
Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
1.                                Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.
2.                                Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.
3.                                Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
4.                                Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
5.                                Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.